BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Riba merupakan
istilah Arab terhadap bunga (usury, appositive rate of interest). Bunga
merupakan hal yang lazim, bahkan wajib pada dunia kapitalis. Sehingga,
dikatakan, “Seandainya tidak ada bunga, kaum kapitalis tidak akan mempunyai
rangsangan untuk mensirkulasikan modalnya dengan produktif.”
Secara
etimologis, riba berarti perluasan, pertambahan, dan pertumbuhan. Baik berupa
tambahan material maupun immaterial, baik dari jenis barang itu sendiri maupun
dari jenis lainnya. Pada masa pra-islam, kata riba menunjukkan suatu jenis
transaksi bisnis tertentu, di mana transaksi-transaksi tersebut
mengidentifikasikan jumlah tertentu di muka (a fixed amount) terhadap modal
yang digunakan. Secara garis besar, riba terjadi pada utang piutang dan jual
beli.[1]
Umer Chapra[2]
mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian
riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau
pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam
islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal
ini tidaklah dilarang. Jadi apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang
paling tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah Rasulullah. Beliau bahkan
melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apa pun sebagai
syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda,
“Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, tidak boleh
menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Baihaqi, Rasulullah bersabda,”Ketika
seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya
makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya
terbiasa saling memberikan pertolongan. ”Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba
dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Pengartian
riba ini tercermin dalm tulisan-tulisan para ulama’ dalam sejarah islam. Hampir
tidak ada tafsir Al-Qur’an klasik atau kamus bahasa Arab yang memberikan arti
berbeda. Misalnya, al-Qurthubi(w.671 H/1070 M), yang dianggap sebagai salah
satu penafsir Al-Qur’an yang paling terkenal, dengan jelas menunjukkan bahwa
“kaum muslimin sepakat perihal pengesahan Rasulullah bahwa adanya syarat
pertanbahan atas jumlah pinjaman adalah riba, tidak peduli apakah berupa
segenggam tepung, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud atau sebutir
gandum”. Lihat Tafsir Al-Qurthubi jilid 3 hal. 241.
Ibnu Manzur
(w.711 H/1311 M) juga dengan jelas menyatakan dalam kamus bahasa Arabnya yang
termasyhur (Lisan al-Arab) bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah, manfaat,
atau keuntungan lebih yang diterima dari pinjaman dalm bentuk apa pun”.[3]
Jadi, istilah
riba yang dipahami sejak masa awal berarti “premium” yang harus dibayarkan oleh
peminjam kepad pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman sebagai syarat
untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan watu jatuh temponya.
Ini juga
merupakan keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fuqaha
yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan riba, termasuk
Muktamar Al-Fiqih al-Islami yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1951 dan
di Kairo pada tahun 1965. Juga pertemuan komite fiqih OKI dan Rabithah ‘Alam
Islami yang diselenggarakan pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan
Mekah[4].
Dengan consensus mutlak tersebut, tidak ada ruang untuk berargumentasi bahwa
bunga bank tidak diharamkan dalam islam. Karena itu, beberapa pendapat
minoritas yang menyatakan pandngan bebeda tidak melemahkan sedikit pun
konsensus tersebut.
Batasan
riba yang di haramkan oleh Al-Qur’an itu sebenarnya tidak membutuhkan
penjelasan yang rumit. Karena, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi
manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara
bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang di larang itu. Padahal Allah telah
berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ......
“Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah:
275)
Menurut
pendangan imam Hambali, riba merupakan setiap kelebihan tanpa adanya imbalan
pada takaran dan timbangan yang dilakukan antara pembeli dan penjual di dalam
tukar-menukar. Sedangkan iman Syafi’I berpendapat bahwa riba adalah transaksi
dengan imbalan tertentu yang tidak tidak diketahui kesamaan takarannya maupun
ukuran waktu kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang
yang dipertukarkan atau salah satunya.[5]
Para ahli
ekonomi kontemporer banyak membahas tentang riba dan bahayanya terhadap
kehidupan masyarakat, baik dari segi kemasyarakatannya, social dan politik.
Sebagian dari mereka berkata “Masyarakat kita akan berjalan dari porosnya jika
mereka bisa menurunkan nilai riba sampai pada derajat nol persen.” Demikian
pula pnedapat ekonomi Inggris. Lord Kent.[6]
Mengacu pada
berbagai pandangan di atas, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktik
riba yang merambah ke berbagai Negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai
pengusaha terpaksa melakukan pengaturan pematas terhadap bisnis pembungaan
uang. Perdebatan panjang dikalangan ahli fiqih tentang riba belum menemukan
titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Sehingga
timbul bermacam-macam tentang bunga dan riba.
B.
Rumusan masalah
Dari berbagai latar belakang di
atas maka kami ingin menitik beratkan
pada pembahasan tentang :
1.
Bagaimana pandangan Islam dan nonislam tentang riba?
2. Bagaimana kajian Riba secara
ilmiahnya?
C.
Tujuan pembahasan
Penyusunan
makalah ini bertujuan :
1.
Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam dan
nonislam terhadap riba
2.
Untuk mengetahui bagaimana mengkaji hukum riba secara ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Riba dalam Pandangan
Agama
Riba bukan
cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun
memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut
mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan
kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke
masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
- Riba dalam Pandangan Agama Islam
Dalam Islam, memungut riba atau
mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam
Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ......
“Allah telah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah:
275)
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana
konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan
bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat
(termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba.
bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat
diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal.
jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita
akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang
hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat
panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di
awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi
sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang
meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh
peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada
deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian
dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh
nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang
didapat oleh pihak bank.
Jenis-jenis riba dalam agama
Islam
Pada dasarnya riba dibagi menjadi
dua yaitu : riba jual beli dan riba utang-piutang. Riba jual-beli yaitu riba
riba yang timbul karena terjadinya transaksi jual beli, sedangkan riba utang
piutang yaitu riba yang tibul karena terjadinya transaksi pinjam meminjam. [7]
Untuk lebih jelasnya riba
jual-beli dibagi menjadi dua yaitu :
1) Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2) Riba Jahiliyyah
Hutang
dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan.
Sedangkan riba utang-piutang juga
dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis
dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu
termasuk dalam jenis barang ribawi.
2) Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau
penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi
lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau
tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Tahap-tahap Larangan riba dalam
Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan risalah
larangan praktek riba melalui empat tahapan sebagai berikut :[8]
a. QS. Ar-Ruum : 39
وَمَا
آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ
اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ
وَجْهَ
اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (٣٩)
Dan sesuatu Riba
(tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
Berdasarkan firman Allah tersebut berarti riba tidak akan menambah
kabikan pada sisi Allah.
b. QS. An-Nisa’ : 160 – 161
فَبِظُلْمٍ
مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ
وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (١٦٠)
وَأَخْذِهِمُ
الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ
وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (١٦١)
(160).
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan
makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena
mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
(161). dan disebabkan
mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya,
dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah
menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(QS.
An-Nisa’ : 160 – 161)
Pada gambaran ini Allah memberikan siksa yang pedih bagi kaum Yahudi
dengan salah satu karakternya suka memakan riba.
c. QS. Ali Imron : 130
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠)
(130). Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[9]
dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS.
Ali Imron : 130)
d. QS. Al-Baqarah : 278 –
279
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ
اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا
تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)
(278).
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba
(yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(279). Maka jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah
dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan
riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula)
dianiaya.
Pada ayat ini Allah secara jelas dan tegas melarang semua jenis riba.
- Riba dalam pandangan agama Yahudi
Agama Yahudi
melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab
suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud.
Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:[10]
“Jika engkau
meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu,
maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah
engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab
Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu,
baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab
Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga,
tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut
bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri
yang engkau masuki untuk mendudukinya."
Kitab
Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba
darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa
hidup di antaramu. Janganlah
engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah
kau berikan dengan meminta riba.”
- Pandangan Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak
menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani
menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang
mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang,
karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada
orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah
musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak
mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak
Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu
berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”
Ketidaktegasan ayat tersebut
mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama
Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan
bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan
menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I
hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII -
XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis
Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan
bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga,
tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu,
memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk
mendudukinya.”
- Pandangan Para Pendeta Awal Kristen
(Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya
pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada
Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 -
379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak
berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari
orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air
mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa
(335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui
pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat
menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang
terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga
berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St.
Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St.
Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan
dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok,
satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan.
Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang
(Canon): Council of Elvira (Spanyol
tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja
mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya
akan diturunkan. Council of Arles
(tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja
mempraktekkan pengambilan bunga. First
Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan
memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan
bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council
of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga
itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen
(murtad).
Pandangan Para Pendeta awal Kristen
dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi
jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang
dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau
niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa.
Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk
penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
- Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII
- XVI)
Pada masa ini terjadi
perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada
masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat.
Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada
awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut
mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada
masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang
merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga
mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan
bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna
keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta
per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan
terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka
untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest
dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan
usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan
kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan
hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga
adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan
dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep
keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau
tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.
B. Kajian Riba Secara Ilmiahnya
- Pandangan Islam Terhadap Nilai Uang
a.
Kritik atas Time Value of money
Dalam ekonomi
konvensioal Time Value of Money didefinisikan sebagai “a dollar is
worth more than a dollar today can be invested to get return.”[11]
Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai peluang atau
kemungkinan untuk mendapat hasil positif, negative, atau impas. Itu sebabnya
dalam teori keuangan, selalu dikenal hubungan antara risk-return.
Ada dua alasan dari ekonomi
konvensional terhadap teori Time Value of Money, yaitu :[12]
1. Presence of inflation
2. Preference present
consumption to future consumption
Alasan pertama
tidak diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian
selalu ada keadaan inflasi dan keadaan diflasi. Bila keadaan inflasi menjadi
alasan adnya Time Value of Money, maka seharusnya keberadaan deflasi
juga harus menjadi alasannya adanya negative Time Value of Money. Dengan
demikian, selama ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang diakomodasi
oleh teori Time Value of Money; sedangkan kondisi deflasi diabaikan.
Alasan
mengenai ketidak pastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional,
penerapan Time Value of Money tidak senaif yang dibayangkan, misalnya
dengan tidak mengabaikan ketidak pastian return yang akan diterima. Bila unsure
ketidak pastian return ini dimasukka, ekonomi konvensional menyebut
konpensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount rate lebih
bersifat umum dibandingkan istilah interest rate.[13]
Jadi dalam
ekonomi konvensional, ketidak pastian return dikonvensi menjadi suatu kepastian
melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada
probabilitas untuk mendapat positive return, negative return, dan no return.
Adanya probabilitas inilah yang menimbulkan ketidak pastian. Probabilitas
untuk mendapat negative return dan no return yang diperlukan dengan sesuatu
yang pasti yaitu premium for uncertainty.
b.
Konsep Economic Value of Time
Landasan atau
keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional inilah yang ditolak dalam ekonomi
Syari’ah, yaitu keadaan yang mendapatkan hasil tanpa memperhatikan suatu resiko
(alghunmu bi al ghurni) dan memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya (al
kharaj bi la dhaman). Sebenarnya keadaan ini juga ditolak oleh teori keuangan,
yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk dan return; bukanlah return
goes along with risk?
Dalam
pandangan islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama
kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu
antara satu orang dengan yang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya.[14]
Jadi factor yangmenentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan
waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan
semakin tinggi nilai wakyunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan
di dinia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapapun
pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras, secara sunatullah, ia akan
mendapatkan keuntungan di dinia.
Di
dalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari
adalah keuntungan di dunia dan akhirat.[15]
Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien,
namun juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan
mendatangkan keuntungan di Akhirat. Sebalikjnya, keimanan yang tidak mampu
mendatangkan di dunia berarti keimanan yang tidak diamalkan.
Jikan
ditarik dalam konteks ekonomi, maka keuntungan adalah diperoleh setelah
menjalankan aktivitas bisnis. Jadi barang siapa yang melakukan aktivitas bisnis
secara efektif dan efisien, ia akan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada
pertanyaan dasar yang perlu didiskusikan, yaitu apa ukuran yang dapat digunakan
untuk menetepkan besar keuntungan yang diramalkan jika dasar interest rate
adalah dilarang dalam ajaran islam.
Dalam
ekonomi Syari’ah. Penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga
membayar tangguh (bai mu’ajjal) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena;
1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sector
riil yang menimbulkan nilai tambah ekonomis (economic value added)
2. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran)
yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang atau jasa), sehingga
ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.[16]
Begitu pula penggunaan discount rate
dalam menetukan nisbah bagi hasil, dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan
dengan pendapatan actual (actual return), bukan dengan pendapatan yang
diharapkan (expected return). Trensaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi
jual beli atau transaksi sewa menyewa. Karena dalam transaksi bagi hasil
hubngannya bukan antara penjual dan pembeli atau penyewa dan yang menyewakan.
Dalam transaksi bagi hasilyang ada dalam hubungan pemodal dengan yang
memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan
kewajibannya namun masihtertahan haknya. Shohibul mal telahmelaksanakan
kewajibannya, yaitu memberikan sejumlah modal, yang memproduktifkan modal
(mudhorib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal
tersebnagtuut. Hak bagi Shohibul mal dan Mudharb adalah berbagi hasil atas
pendapatan atau keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakahbagi hasil
itu akan dilakukan atas pendapatan dan keuntungan.
- Tinjauan dari Al-Qur’an
Dalam Islam, riba merupakan dosa
besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara tegas
mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 :
275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim
(QS.2: 278 dan QS 4: 160). Selain Al-quran, sangat banyak pula
hadits Nabi yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis dan
para saksinya (H.R.Muslim). Riba menurut Nabi Saw lebih besar dosanya
dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73
tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai
ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim.[17]
Nabi Muhammad Saw dalam
masa kerasulannya dengan gigih memberantas riba yang demikian meluas di
tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa perekonomian
jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis
sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam lainnya
terbatas.[18]
Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong
maju dan kaya.[19]
Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga
jalur besar perdagangan dunia, Pertama, lalu lintas perdagangan
antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang
Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur
dagang Utara, Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur
Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang inyternasional, maka
tidak heran jika mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.[20]
Valuta asing dari Persia dan
Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi,
yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada
halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai
(hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.[21]
Berdasarkan kenyataan itu, dapat
dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang.
Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal
barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam
kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian
Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang
mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan
konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi
secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang
dihilangkan Nabi Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu lebih
dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits
yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah
adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi
anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek
ekonomi bebas riba tersebut harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di
tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi saat ini.
Sejak berabad-abad kaum muslimin
di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi ribawi kapitalisme akibat
penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam sistem ekonomi
negara-negara muslim melalui lembaga perbankan, asuransi dan koperasi.
Indonesia termasuk negara yang mempraktekkan sistem riba tersebut,
sejak kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila
saat ini sistem ekonomi ribawi begitu masih dominan dalam sistem perekonomian
Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang perbankan di Indonesia dalam
waktu yang sangat panjang hanya membenarkan sistem bunga. Baru pada tahun 1992,
keluar UU No 7/1992 yang menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia
dapat menggunakan sistem bagi hasil. Pada tahun 1992 itu juga lahirlah Bank
Muamalat Indonesia. Selama lima enam tahun berkembang di Indonesia, BMI
masih menjadi pemain tunggal sebagai bank syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi
krisis moneter di Indonesia yang mengakibatkan bank-bank konvensional mengalami
goncangan hebat yang pada akhirnya sebagian besar di antaranya ditutup
(dilikuidasi), karena mengalami negative spread, sedangkan sebagaian
lainnya masuk bengkel BPPN.
Bank Muamalat dan sejumlah BPR
Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat dari bagai krisis tersebut.
Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil Penerapan
bagi hasil di bank syari`ah, membuat bank-bank syari`ah lebih tangguh dan tahan
dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini
disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpanan
nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan
tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka
jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
Banyak kalangan menilai bahwa
keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997, disebabkan oleh tingginya
tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu sisi memang
benar, namun harus diakui bahwa faktor sistem moneter konvensional yang memakai
instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin terpuruknya
ekonomi Indonesia.
Makalah ini akan membahas
pengaruh bunga perbankan tersebut terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, yang
secara khusus menganalisa kasus krisis moneter 1997 yang berlanjut sampai
tahun 2004. Tulisan ini diawali dengan paparan ringkas tentang riba dalam
perspektif historis dan argumentasi pengharaman riba. Selanjutnya dibahas
pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia. Untuk lebih
melengkapi tulisan ini, dipaparkan juga tentang ijma’ ulama tentang keharaman
bunga bank yang disertai dengan eksplanasi mengenai solusi instrumen bagi bagi
hasil sebagai pengganti bunga.
Makalah ini secara sengaja tidak
membahas defenisi riba dan bunga, karena defenisi keduanya sangat jelas.
Sangat banyak kajian dan literatur yang telah mengulas defenisi riba dan bunga
tersebut. Kata Prof.Dr.Azfalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader,
“Tidak ada gunanya membuang-buang waktu untuk
mendefenisikan bunga dan riba, karena kedua sangat identik dan saling
menggantikan. Islam tidak membedakan interetres dan usury. Riba mencakup
keduanya. Karena itu bunga bank sekarang ini memenuhi defenisi riba”[22]
- Tinjauan Riba/Bunga dari prespektif
Sejarah
Menurut pakar sejarah ekonomi,
kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum Masehi,
baik yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir Kuno. Demikian juga pada tahun 2000
sebelum Masehi, di Mesopotamia ( wilayah Iraq sekarang) telah berkembang sistem
bunga. Sementara itu, 500 Tahun sebelum Masehi Temple Of Babillion mengenakan
sistem bunga sebesar 20 % setahun.[23]
Sejarah mencatat, bangsa Yunani
kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang keras peminjaman uang dengan
bunga. Aristoteles dalam karyanya Politics telah mengecam sistem bunga yang
berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional
filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa bunga merupkan sistem yang
tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping
mata uang tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya ia mengatakan
bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya.
Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga dan
memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosofi Yunani yang paling
terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosofi
Yunani tentang bunga.[24]
Selanjutnya, pada tahap- tahap
awal, kerajaan Romawi Kuno, juga melarang keras setiap pungutan atas bunga dan
pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya suku bunga melalui
undang – undang. Kerajaan romawi adalah negara pertama yang menerapkan
peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen. Kebiasaan bunga juga
brkembang di tanah arab sebelum Nabi Muhammad menjadi rasul. Catatan
sejarah menunjukan bahwa bangsa Arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini
digambarkan dalam Al- qur’an dalam surat al – quraisy dan buku – buku sejarah
dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional
yang dilalui tiga jalur – jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India, dan
China, serta Syam dan Yaman.
Suatu hal yang tak bisa di –
bantah, bahwa dalam rangka menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka
membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna menunjang kegiatan
produksi. Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem
bunga. Tegasnya, pinjaman uang pada saat itu, bukan semata untuk konsumsi,
tetapi juga untuk usaha – usaha produktif. Sistem bunga inilah selanjutnya yang
dilarang Al- Qur’an secara bertahap.
Sementara itu, tradisi bunga terus
berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri
VIII, pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak dibenarkan, sedangkan
bunga dibolehkan asal tidak berlebihan.[25]
Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah
Indonesia,mereka menyebar luaskan pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang
Indonesia yang melarang dan mempraktekkan bunga. Mereka membedakan bunga dan
riba. Padahal bunga dan riba sama saja. Ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 30
yang melarang riba yang berlipat ganda, belum selesai (tuntas).[26]
Sebab setelah itu, turun ayat lagi tentang riba yang mengharamkan segala bentuk
riba, baik riba yang berlipat ganda maupun yang ringan bunganya (Q.S. 2 : 275 :
279).
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
Persoalan riba
telah ada sejak orang mulai berbicara tentang hubungan perdagangan dengan
keuangan. Riba adalah tambahan yang dilakukan secara bathil, sangat
mempengaruhi pelakunya dalam sisi ekonomi maupun social. Secara ekonomi riba
dapat menimbulkan inflasi, sebagai akibat dari bunga. Hal tersebut disebabkan
karaena salah sastu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin
tinggi suku bunga, semakin tinggi pula harga yang akan ditetapkan pada suatu
barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan
peminjaman dan tingginya biaya bunga maka akan menimbulkan negative spread.
B.
Saran
Setelah membaca dan mengkaji makalah ini, kami berharap kepada semua teman-teman untuk menelaah dan melakukan penelitian tentang makalah
ini secara komprehensif dan mendalam. Dan akhirnya kami sangat mengharapkan kritik yang membangun agar kami dapat
memperbaiki penyusunan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman
A. Karim, “makro ekonomi islam”, modul kuliah ekstrakulikuler Syari’ah
ekonomic farum facultas ekonomi UGM,Yogyakarta : 2001
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam
Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001
Abd Hakim Atang, Fikiq Perbankan
Syariah, PT. refrika Aditam, Bandung, 2011, hal 65
Aswath Damodaran, Corporate
Finance : Theory and Practice 2nd, New York : Jhon Wiley & Sons,
2001.
Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, terjemahan Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana
Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996,
Endy Muhammad Astiwara, Investasi
Islami Di Pasar Modal,1999, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas
Muhammadiyah Jakarta.
Ridawan Muhammad, Manajemen
Baitul Mal wa Tamwil, UII Press Yogyakarta, 2004
Huda n Syafi’I Antonio,
Muhammad, Bank Syari’ah, Ulama dan Cendikiawan, Jakarta,
Tazkia
Institute dan Bank Indonesia,
1999, urul dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Kencana, Jakarta, 2009
Irfan Mahmud Ra’na, Economic
Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf, 1977
Karnaen
Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam,
Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992
Watt, Montgomery W, Prophet Muhammad A State Man , London,
1982
Umer Chapra, Prohibition Of
Interest: Does It Make Sense?, 2001, IDM Publication, Durban, South Africa,
Qaradhawi Yusuf, Fawaid al-Bunuk
Hiya ar-Riba al-Haram, Dar Ash Shahwah-Dar al- Wafa’, Kairo, 1994
Qardawi Yusuf, Norma dan Etika
Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta, 1997,
Afzalur Rahman, Doktrin
Ekonomi Islam, terjemahan Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana
Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996
Edisi Indonesia Muhammad sebagai
Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997
[1] Endy Muhammad Astiwara,
Investasi Islami Di Pasar Modal,1999, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas
Muhammadiyah Jakarta, hlm. 128.
[2] Umer Chapra, Prohibition Of
Interest: Does It Make Sense?, 2001, IDM Publication, Durban, South Africa,
hlm.2.
[3] Ibnu Manzur, 1968, hlm. 304.
Saya kutip dari Umer caphra Op.Cit hlm. 3.
[4] lihat al-Qaradhawi, Fawaid
al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Dar Ash Shahwah-Dar al- Wafa’, Kairo, 1994,
hlm. 129-142.
[5] Ridawan
Muhammad, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil, UII Press Yogyakarta, 2004,
hal : 34
[6] Qardawi
Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta, 1997, hal :
185
[7] Ibid
[8] Huda
nurul dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Kencana, Jakarta, 2009, hal
13
[9] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba
nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram,
walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba
nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan.
Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi
lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian,
seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang
dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam
masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[10] Abd
Hakim Atang, Fikiq Perbankan Syariah, PT. refrika Aditam, Bandung, 2011, hal 65
[11]Aswath
Damodaran, Corporate Finance : Theory and Practice 2nd, New York :
Jhon Wiley & Sons, 2001.
[12] Ibid
[13] ibid
[14] Di
dalam Al-Qur’an surat Al-Ashr [103] (1) Demi masa; (2) Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian; (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal sholeh dan nasihat menasihatinya supaya menaati kebenaran dan
nasihat menasihatinya supaya menetapi kebenaran
[15] QS.
Al-Qashasv(28); (77) [dan carilah pada apa yang dianugrahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan ajnganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari
(kenikmatan) duniawidan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.
[16]Adiwarman
A. Karim, “makro ekonomi islam”, modul kuliah ekstrakulikuler Syari’ah
ekonomic farum facultas ekonomi UGM,Yogyakarta : 2001, h.4.
[17] Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan Soeroyo dan Nastangin,
Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996, hlm. 80
[18] Irfan
Mahmud Ra’na, Economic Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf,
1977, hlm. 80
[19] Watt, Montgomery W, Prophet Muhammad A
State Man , London, 1982, p. 57
[20] Irfan Mahmud Ra’na, op.cit, hlm. 81
[21] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu
Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hlm 28
[22] Afzalur Rahman, Muhammad A Trader,
London, The Muslim Schools Trust, 1982, Edisi Indonesia Muhammad sebagai
Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997, hlm. 318
[23] Karnaen Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio,
Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992.
[24] Syafi’I Antonio, Muhammad, Bank
Syari’ah, Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Tazkia Institute dan Bank
Indonesia, 1999, hlm. 65-66
[25] Afzzalur Rahman, Muhammad A Trader,
op.cit, hlm. 320. Syafi’I Antonio, Muhammad, op.cit, hlm. 69-71
[26] Lihat empat tahapan turunnya ayat
tentang riba, Umer Chapra, Toward A Justr Monetary System, terjemahan
Lukman hakim, Al-Quran menuju sistem Moneter yang Adil, Yogyakarta, Dana Bkhati
Waqaf, 1997, hlm.213-216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar