Minggu, 13 April 2014

RIBA

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Riba merupakan istilah Arab terhadap bunga (usury, appositive rate of interest). Bunga merupakan hal yang lazim, bahkan wajib pada dunia kapitalis. Sehingga, dikatakan, “Seandainya tidak ada bunga, kaum kapitalis tidak akan mempunyai rangsangan untuk mensirkulasikan modalnya dengan produktif.”
Secara etimologis, riba berarti perluasan, pertambahan, dan pertumbuhan. Baik berupa tambahan material maupun immaterial, baik dari jenis barang itu sendiri maupun dari jenis lainnya. Pada masa pra-islam, kata riba menunjukkan suatu jenis transaksi bisnis tertentu, di mana transaksi-transaksi tersebut mengidentifikasikan jumlah tertentu di muka (a fixed amount) terhadap modal yang digunakan. Secara garis besar, riba terjadi pada utang piutang dan jual beli.[1]

Umer Chapra[2] mengutip Ibnu Manzur dalam kitabnya Lisan al-Arab, mengatakan bahwa pengertian riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan, atau pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal ini tidaklah dilarang. Jadi apa yang sebenarnya diharamkan?
Pribadi yang paling tepat untuk menjawab pertanyaan ini adalah Rasulullah. Beliau bahkan melarang mengambil hadiah, jasa, atau pertolongan sekecil apa pun sebagai syarat atas suatu pinjaman. Dalam hadits riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda, “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya, tidak boleh menerima hadiah.” Dalam hadits riwayat Baihaqi, Rasulullah bersabda,”Ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan. ”Jawaban Rasulullah ini menyamakan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga (bunga bank).
Pengartian riba ini tercermin dalm tulisan-tulisan para ulama’ dalam sejarah islam. Hampir tidak ada tafsir Al-Qur’an klasik atau kamus bahasa Arab yang memberikan arti berbeda. Misalnya, al-Qurthubi(w.671 H/1070 M), yang dianggap sebagai salah satu penafsir Al-Qur’an yang paling terkenal, dengan jelas menunjukkan bahwa “kaum muslimin sepakat perihal pengesahan Rasulullah bahwa adanya syarat pertanbahan atas jumlah pinjaman adalah riba, tidak peduli apakah berupa segenggam tepung, sebagaimana ditunjukkan oleh Ibnu Mas’ud atau sebutir gandum”. Lihat Tafsir Al-Qurthubi jilid 3 hal. 241.
Ibnu Manzur (w.711 H/1311 M) juga dengan jelas menyatakan dalam kamus bahasa Arabnya yang termasyhur (Lisan al-Arab) bahwa “apa yang dilarang adalah jumlah, manfaat, atau keuntungan lebih yang diterima dari pinjaman dalm bentuk apa pun”.[3]
Jadi, istilah riba yang dipahami sejak masa awal berarti “premium” yang harus dibayarkan oleh peminjam kepad pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan watu jatuh temponya.
Ini juga merupakan keputusan bulat dari sejumlah konferensi internasional para fuqaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan riba, termasuk Muktamar Al-Fiqih al-Islami yang diselenggarakan di Paris pada tahun 1951 dan di Kairo pada tahun 1965. Juga pertemuan komite fiqih OKI dan Rabithah ‘Alam Islami yang diselenggarakan pada tahun 1985 dan 1986 masing-masing di Kairo dan Mekah[4]. Dengan consensus mutlak tersebut, tidak ada ruang untuk berargumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam islam. Karena itu, beberapa pendapat minoritas yang menyatakan pandngan bebeda tidak melemahkan sedikit pun konsensus tersebut.
      Batasan riba yang di haramkan oleh Al-Qur’an itu sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan yang rumit. Karena, tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu bagi manusia, apalagi mengancam pelakunya dengan siksa yang paling pedih, sementara bagi mereka sendiri tidak jelas apa yang di larang itu. Padahal Allah telah berfirman:
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ......
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Menurut pendangan imam Hambali, riba merupakan setiap kelebihan tanpa adanya imbalan pada takaran dan timbangan yang dilakukan antara pembeli dan penjual di dalam tukar-menukar. Sedangkan iman Syafi’I berpendapat bahwa riba adalah transaksi dengan imbalan tertentu yang tidak tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktu kapan terjadi transaksi dengan penundaan penyerahan kedua barang yang dipertukarkan atau salah satunya.[5] 
Para ahli ekonomi kontemporer banyak membahas tentang riba dan bahayanya terhadap kehidupan masyarakat, baik dari segi kemasyarakatannya, social dan politik. Sebagian dari mereka berkata “Masyarakat kita akan berjalan dari porosnya jika mereka bisa menurunkan nilai riba sampai pada derajat nol persen.” Demikian pula pnedapat ekonomi Inggris. Lord Kent.[6]
Mengacu pada berbagai pandangan di atas, kita dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa praktik riba yang merambah ke berbagai Negara ini sulit diberantas, sehingga berbagai pengusaha terpaksa melakukan pengaturan pematas terhadap bisnis pembungaan uang. Perdebatan panjang dikalangan ahli fiqih tentang riba belum menemukan titik temu. Sebab mereka masing-masing memiliki alasan yang kuat. Sehingga timbul bermacam-macam tentang bunga dan riba.
B.     Rumusan masalah
Dari berbagai latar belakang di atas maka kami ingin menitik beratkan pada pembahasan tentang :
1.      Bagaimana pandangan Islam dan nonislam tentang riba?
2.      Bagaimana kajian Riba secara ilmiahnya?
C.     Tujuan pembahasan
Penyusunan makalah ini bertujuan :
1.      Untuk mengetahui bagaimana pandangan Islam dan nonislam terhadap riba
2.      Untuk mengetahui bagaimana mengkaji hukum riba secara ilmiah




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riba dalam Pandangan Agama
Riba bukan cuma persoalan masyarakat Islam, tapi berbagai kalangan di luar Islam pun memandang serius persoalan riba. Kajian terhadap masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah riba telah menjadi bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi. Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai riba.
  1. Riba dalam Pandangan Agama Islam
Dalam Islam, memungut riba atau mendapatkan keuntungan berupa riba pinjaman adalah haram. Ini dipertegas dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 275 :
¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# ......
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (al-Baqarah: 275)
Pandangan ini juga yang mendorong maraknya perbankan syariah dimana konsep keuntungan bagi penabung didapat dari sistem bagi hasil bukan dengan bunga seperti pada bank konvensional, karena menurut sebagian pendapat (termasuk Majelis Ulama Indonesia), bunga bank termasuk ke dalam riba. bagaimana suatu akad itu dapat dikatakan riba? hal yang mencolok dapat diketahui bahwa bunga bank itu termasuk riba adalah ditetapkannya akad di awal. jadi ketika kita sudah menabung dengan tingkat suku bunga tertentu, maka kita akan mengetahui hasilnya dengan pasti. berbeda dengan prinsip bagi hasil yang hanya memberikan nisbah bagi hasil bagi deposannya. dampaknya akan sangat panjang pada transaksi selanjutnya. yaitu bila akad ditetapkan di awal/persentase yang didapatkan penabung sudah diketahui, maka yang menjadi sasaran untuk menutupi jumlah bunga tersebut adalah para pengusaha yang meminjam modal dan apapun yang terjadi, kerugian pasti akan ditanggung oleh peminjam. berbeda dengan bagi hasil yang hanya memberikan nisbah tertentu pada deposannya. maka yang di bagi adalah keuntungan dari yang didapat kemudian dibagi sesuai dengan nisbah yang disepakati oleh kedua belah pihak. contoh nisbahnya adalah 60%:40%, maka bagian deposan 60% dari total keuntungan yang didapat oleh pihak bank.
Jenis-jenis riba dalam agama Islam
Pada dasarnya riba dibagi menjadi dua yaitu : riba jual beli dan riba utang-piutang. Riba jual-beli yaitu riba riba yang timbul karena terjadinya transaksi jual beli, sedangkan riba utang piutang yaitu riba yang tibul karena terjadinya transaksi pinjam meminjam. [7]
Untuk lebih jelasnya riba jual-beli dibagi menjadi dua yaitu :
1)      Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
2)      Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
Sedangkan riba utang-piutang juga dibagi menjadi dua, yaitu :
1)      Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
2)      Riba Nasi’ah
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Tahap-tahap Larangan riba dalam Al-Qur’an
Allah SWT menurunkan risalah larangan praktek riba melalui empat tahapan sebagai berikut :[8]

a.      QS. Ar-Ruum : 39
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ
 وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (٣٩)
Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Berdasarkan firman Allah tersebut berarti riba tidak akan menambah kabikan pada sisi Allah.
b.      QS. An-Nisa’ : 160 – 161
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (١٦٠)
وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (١٦١)
(160). Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) Dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah,
(161). dan disebabkan mereka memakan riba, Padahal Sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.(QS. An-Nisa’ : 160 – 161)

Pada gambaran ini Allah memberikan siksa yang pedih bagi kaum Yahudi dengan salah satu karakternya suka memakan riba.
c.       QS. Ali Imron : 130
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (١٣٠)
(130). Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda[9] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(QS. Ali Imron : 130)


d.      QS. Al-Baqarah : 278 – 279
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (٢٧٨)فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لا تَظْلِمُونَ وَلا تُظْلَمُونَ (٢٧٩)
(278). Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.
(279). Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), Maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), Maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak Menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Pada ayat ini Allah secara jelas dan tegas melarang semua jenis riba.

  1. Riba dalam pandangan agama Yahudi
Agama Yahudi melarang praktek pengambilan bunga. Pelarangan ini banyak terdapat dalam kitab suci agama Yahudi, baik dalam Perjanjian Lama maupun undang-undang Talmud. Kitab Keluaran 22:25 menyatakan:[10]
“Jika engkau meminjamkan uang kapada salah seorang ummatku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”
Kitab Ulangan 23:19 menyatakan:
“Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu, baik uang maupun bahan makanan, atau apa pun yang dapat dibungakan.”
Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya."

Kitab Imamat 35:7 menyatakan:
“Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya, melainkan engkau harus takut akan Allahmu, supaya saudara-mu bisa hidup di antaramu. Janganlah engkau memberi uang-mu kepadanya dengan meminta bunga, juga makananmu janganlah kau berikan dengan meminta riba.”

  1. Pandangan Bunga di Kalangan Kristen
Kitab Perjanjian Baru tidak menyebutkan permasalahan ini secara jelas. Namun, sebagian kalangan Kristiani menganggap bahwa ayat yang terdapat dalam Lukas 6:34-5 sebagai ayat yang mengecam praktek pengambilan bunga. Ayat tersebut menyatakan :
“Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu daripadanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterimakasih dan terhadap orang-orang jahat.”

Ketidaktegasan ayat tersebut mengakibatkan munculnya berbagai tanggapan dan tafsiran dari para pemuka agama Kristen tentang boleh atau tidaknya orang Kristen mempraktekkan pengambilan bunga. Berbagai pandangan di kalangan pemuka agama Kristen dapat dikelompokkan menjadi tiga periode utama, yaitu pandangan para pendeta awal Kristen (abad I hingga XII) yang mengharamkan bunga, pandangan para sarjana Kristen (abad XII - XVI) yang berkeinginan agar bunga diperbolehkan, dan pandangan para reformis Kristen (abad XVI - tahun 1836) yang menyebabkan agama Kristen menghalalkan bunga. Kitab Ulangan 23:20 menyatakan:
“Dari orang asing boleh engkau memungut bunga, tetapi dari saudaramu janganlah engkau memungut bunga … supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala usahamu di negeri yang engkau masuki untuk mendudukinya.”

  1. Pandangan Para Pendeta Awal Kristen (Abad I - XII)
Pada masa ini, umumnya pengambilan bunga dilarang. Mereka merujuk masalah pengambilan bunga kepada Kitab Perjanjian Lama yang juga diimani oleh orang Kristen. St. Basil (329 - 379) menganggap mereka yang memakan bunga sebagai orang yang tidak berperi-kemanusiaan. Baginya, mengambil bunga adalah mengambil keuntungan dari orang yang memerlukan. Demikian juga mengumpulkan emas dan kekayaan dari air mata dan kesusahan orang miskin.
St. Gregory dari Nyssa (335 - 395) mengutuk praktek bunga karena menurutnya pertolongan melalui pinjaman adalah palsu. Pada awal kontrak seperti membantu tetapi pada saat menagih dan meminta imbalan bunga bertindak sangat kejam. St. John Chrysostom (344 - 407) berpendapat bahwa larangan yang terdapat dalam Perjanjian Lama yang ditujukan bagi orang-orang Yahudi juga berlaku bagi penganut Perjanjian Baru. St. Ambrose mengecam pemakan bunga sebagai penipu dan pembelit (rentenir). St. Augustine berpendapat pemberlakuan bunga pada orang miskin lebih kejam dibandingkan dengan perampok yang merampok orang kaya. Karena dua-duanya sama-sama merampok, satu terhadap orang kaya dan lainnya terhadap orang miskin. St. Anselm dari Centerbury (1033 - 1109) menganggap bunga sama dengan perampokan. Larangan praktek bunga juga dikeluarkan oleh gereja dalam bentuk undang-undang (Canon): Council of Elvira (Spanyol tahun 306) mengeluarkan Canon 20 yang melarang para pekerja gereja mem-praktekkan pengambilan bunga. Barangsiapa yang melanggar, maka pangkatnya akan diturunkan. Council of Arles (tahun 314) mengeluarkan Canon 44 yang juga melarang para pekerja gereja mempraktekkan pengambilan bunga. First Council of Nicaea (tahun 325) mengeluarkan Canon 17 yang mengancam akan memecat para pekerja gereja yang mempraktekkan bunga. Larangan pemberlakuan bunga untuk umum baru dikeluarkan pada Council of Vienne (tahun 1311) yang menyatakan barangsiapa menganggap bahwa bunga itu adalah sesuatu yang tidak berdosa maka ia telah keluar dari Kristen (murtad).
Pandangan Para Pendeta awal Kristen dapat disimpulkan sebagai berikut bahwa Bunga adalah semua bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan. Mengambil bunga adalah suatu dosa yang dilarang, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Keinginan atau niat untuk mendapat imbalan melebihi apa yang dipinjamkan adalah suatu dosa. Bunga harus dikembalikan kepada pemiliknya. Harga barang yang ditinggikan untuk penjualan secara kredit juga merupakan bunga yang terselubung.
  1. Pandangan Para Sarjana Kristen (Abad XII - XVI)
Pada masa ini terjadi perkembangan yang sangat pesat di bidang perekonomian dan perdagangan. Pada masa tersebut, uang dan kredit menjadi unsur yang penting dalam masyarakat. Pinjaman untuk memberi modal kerja kepada para pedagang mulai digulirkan pada awal Abad XII. Pasar uang perlahan-lahan mulai terbentuk. Proses tersebut mendorong terwujudnya suku bunga pasar secara meluas. Para sarjana Kristen pada masa ini tidak saja membahas permasalahan bunga dari segi moral semata yang merujuk kepada ayat-ayat Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, mereka juga mengaitkannya dengan aspek-aspek lain. Di antaranya, menyangkut jenis dan bentuk undang-undang, hak seseorang terhadap harta, ciri-ciri dan makna keadilan, bentuk-bentuk keuntungan, niat dan perbuatan manusia, serta per-bedaan antara dosa individu dan kelompok.
Mereka dianggap telah melakukan terobosan baru sehubungan dengan pendefinisian bunga. Dari hasil bahasan mereka untuk tujuan memperhalus dan melegitimasi hukum, bunga dibedakan menjadi interest dan usury. Menurut mereka, interest adalah bunga yang diperbolehkan, sedangkan usury adalah bunga yang berlebihan. Para tokoh sarjana Kristen yang memberikan kontribusi pendapat yang sangat besar sehubungan dengan bunga ini adalah Robert of Courcon (1152-1218), William of Auxxerre (1160-1220), St. Raymond of Pennaforte (1180-1278), St. Bonaventure (1221-1274), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274). Kesimpulan hasil bahasan para sarjana Kristen periode tersebut sehubungan dengan bunga adalah sebagai berikut : Niat atau perbuatan untuk mendapatkan keuntungan dengan memberikan pinjaman adalah suatu dosa yang bertentangan dengan konsep keadilan. Mengambil bunga dari pinjaman diperbolehkan, namun haram atau tidaknya tergantung dari niat si pemberi hutang.

B.     Kajian Riba Secara Ilmiahnya
  1. Pandangan Islam Terhadap Nilai Uang
a.       Kritik atas Time Value of money
Dalam ekonomi konvensioal Time Value of Money didefinisikan sebagai “a dollar is worth more than a dollar today can be invested to get return.”[11] Definisi ini tidak akurat karena setiap investasi selalu mempunyai peluang atau kemungkinan untuk mendapat hasil positif, negative, atau impas. Itu sebabnya dalam teori keuangan, selalu dikenal hubungan antara risk-return.
Ada dua alasan dari ekonomi konvensional terhadap teori Time Value of Money, yaitu :[12]
1.      Presence of inflation
2.      Preference present consumption to future consumption
Alasan pertama tidak diterima karena tidak lengkap kondisinya. Dalam setiap perekonomian selalu ada keadaan inflasi dan keadaan diflasi. Bila keadaan inflasi menjadi alasan adnya Time Value of Money, maka seharusnya keberadaan deflasi juga harus menjadi alasannya adanya negative Time Value of Money. Dengan demikian, selama ini hanya ada satu kondisi saja (inflasi) yang diakomodasi oleh teori Time Value of Money; sedangkan kondisi deflasi diabaikan.
Alasan mengenai ketidak pastian return dalam usaha. Dalam ekonomi konvensional, penerapan Time Value of Money tidak senaif yang dibayangkan, misalnya dengan tidak mengabaikan ketidak pastian return yang akan diterima. Bila unsure ketidak pastian return ini dimasukka, ekonomi konvensional menyebut konpensasinya sebagai discount rate. Jadi istilah discount rate lebih bersifat umum dibandingkan istilah interest rate.[13]
Jadi dalam ekonomi konvensional, ketidak pastian return dikonvensi menjadi suatu kepastian melalui premium for uncertainty. Dalam setiap investasi tentu selalu ada probabilitas untuk mendapat positive return, negative return, dan no return. Adanya probabilitas inilah yang menimbulkan ketidak pastian. Probabilitas untuk mendapat negative return dan no return yang diperlukan dengan sesuatu yang pasti yaitu premium for uncertainty.
b.      Konsep Economic Value of Time
Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional inilah yang ditolak dalam ekonomi Syari’ah, yaitu keadaan yang mendapatkan hasil tanpa memperhatikan suatu resiko (alghunmu bi al ghurni) dan memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya (al kharaj bi la dhaman). Sebenarnya keadaan ini juga ditolak oleh teori keuangan, yaitu dengan menjelaskan adanya hubungan antara risk dan return; bukanlah return goes along with risk?
Dalam pandangan islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan yang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya.[14] Jadi factor yangmenentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai wakyunya. Efektif dan efisien akan mendatangkan keuntungan di dinia bagi siapa saja yang melaksanakannya. Oleh karena itu, siapapun pelakunya tanpa memandang suku, agama, dan ras, secara sunatullah, ia akan mendapatkan keuntungan di dinia.
      Di dalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan di dunia, namun yang dicari adalah keuntungan di dunia dan akhirat.[15] Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun juga harus didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di Akhirat. Sebalikjnya, keimanan yang tidak mampu mendatangkan di dunia berarti keimanan yang tidak diamalkan.
      Jikan ditarik dalam konteks ekonomi, maka keuntungan adalah diperoleh setelah menjalankan aktivitas bisnis. Jadi barang siapa yang melakukan aktivitas bisnis secara efektif dan efisien, ia akan mendapatkan keuntungan. Namun demikian, ada pertanyaan dasar yang perlu didiskusikan, yaitu apa ukuran yang dapat digunakan untuk menetepkan besar keuntungan yang diramalkan jika dasar interest rate adalah dilarang dalam ajaran islam.
      Dalam ekonomi Syari’ah. Penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga membayar tangguh (bai mu’ajjal) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena;
1.      Jual beli dan sewa menyewa adalah sector riil yang menimbulkan nilai tambah ekonomis (economic value added)
2.      Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajibannya (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.[16]
Begitu pula penggunaan discount rate dalam menetukan nisbah bagi hasil, dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan actual (actual return), bukan dengan pendapatan yang diharapkan (expected return). Trensaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa. Karena dalam transaksi bagi hasil hubngannya bukan antara penjual dan pembeli atau penyewa dan yang menyewakan. Dalam transaksi bagi hasilyang ada dalam hubungan pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajibannya namun masihtertahan haknya. Shohibul mal telahmelaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan sejumlah modal, yang memproduktifkan modal (mudhorib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebnagtuut. Hak bagi Shohibul mal dan Mudharb adalah berbagi hasil atas pendapatan atau keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakahbagi hasil itu akan dilakukan atas pendapatan dan keuntungan.
  1. Tinjauan dari Al-Qur’an
Dalam Islam, riba merupakan dosa besar yang banyak dikecam oleh Al-quran maupun Sunnah. Al-quran secara tegas mengancam pelaku riba dengan masuk neraka yang mereka kekal di dalamnya (2 : 275). Al-Quran juga secara ekplisit menyebut riba sebagai perbuatan yang zalim (QS.2: 278 dan QS 4: 160).  Selain Al-quran, sangat banyak  pula hadits Nabi  yang dengan tegas mengutuk pelaku riba, juru tulis  dan para saksinya (H.R.Muslim). Riba  menurut Nabi Saw lebih besar dosanya dari 33 kali berzina. Bahkan dikatakan oleh Nabi Saw, Bahwa Riba memiliki 73 tingkatan, yang paling ringan daripadanya ialah seperti seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri (Al-Hakim.[17]
Nabi Muhammad Saw  dalam masa kerasulannya  dengan gigih memberantas riba yang demikian meluas di tengah masyarakat Arab pada waktu itu. Sejarah mencatat, bahwa perekonomian jazirah Arabia, ketika itu adalah ekonomi dagang, bukan ekonomi yang berbasis sumber daya alam. Minyak bumi belum ditemukan dan sumberdaya alam lainnya terbatas.[18] Menurut W. Montgomeri Watt, perekonomian Arab pada waktu itu sudah tergolong maju dan kaya.[19] Kota Mekkah ketika itu menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur besar  perdagangan dunia, Pertama, lalu lintas perdagangan antara Romawi dan India yang melalui Arab, dikenal sebagai jalur dagang Selatan. Kedua, jalur dagang Romawi dan Persia disebut sebagai jalur dagang Utara, Ketiga, jalur dagang Sam dan Yaman disebut jalur Utara-Selatan. Oleh karena Mekkah sebagai pusat dagang inyternasional, maka tidak heran jika mayoritas penduduk Mekkah berprofesi sebagai pedagang.[20]
Valuta asing dari Persia dan Romawi dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Arab bahkan menjadi alat resmi, yakni mata uang dinar dan dirham. Sistem devisa bebas diterapkan dan tidak ada halangan sedikitpun untuk mengimpor dinar atau dirham. Transaksi tidak tunai (hutang) dikenal luas di kalangan para pedagang.[21]
Berdasarkan kenyataan itu, dapat dipastikan bahwa perekonomian Arab, khususnya Mekkah sudah maju dan berkembang. Perekonomian di zaman Rasulullah bukanlah ekonomi terbelakang yang hanya mengenal barter, tetapi jauh dari gambaran seperti itu.
Salah satu tradisi bisnis dalam kegiatan perdagangan yang dilakukan orang-orang Mekkah sebelum kenabian Muhammad adalah praktek ekonomi ribawi. Jadi adalah tidak benar pendapat yang mengatakan bahwa praktek riba yang terjadi di masa Nabi hanya untuk kebutuhan konsumtif. Pinjaman produktif untuk keperluan modal dagang dipastikan terjadi secara massif di kota Mekkah dan jazirah Arab lainnya. Praktek riba inilah yang dihilangkan Nabi Muhammmad saw secara bertahap dalam kurun waktu  lebih dari 22 tahun.
Ajaran Al-quran maupun hadits yang melarang riba meniscayakan praktek ekonomi yang diajarkan Rasulullah adalah sistem ekonomi bebas riba (free interest) Kemudian sistem ekonomi anti riba dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan Daulah Islamiyah. Praktek ekonomi bebas riba tersebut  harus diaktualkan dan dipraktekkan kembali di tengah semaraknya sistem ekonomi ribawi  saat ini.
Sejak berabad-abad kaum muslimin di berbagai belahan dunia mempratekkan ekonomi ribawi kapitalisme akibat penjajahan kolonial yang mendesakkan sistem riba itu dalam sistem ekonomi negara-negara muslim melalui lembaga perbankan, asuransi dan  koperasi. Indonesia termasuk negara yang  mempraktekkan sistem riba tersebut,  sejak kedatangan penjajah Belanda ke Indonesia. Maka tidak aneh apabila  saat ini sistem ekonomi ribawi begitu masih dominan dalam sistem perekonomian Indonesia. Undang-Undang yang mengatur tentang perbankan di Indonesia dalam waktu yang sangat panjang hanya membenarkan sistem bunga. Baru pada tahun 1992, keluar UU No 7/1992  yang menyebutkan bahwa sistem perbankan di Indonesia dapat menggunakan sistem bagi hasil. Pada tahun 1992 itu juga lahirlah Bank Muamalat Indonesia. Selama lima enam tahun  berkembang di Indonesia, BMI masih menjadi pemain tunggal sebagai bank syari’ah. Pada tahun 1997 terjadi krisis moneter di Indonesia yang mengakibatkan bank-bank konvensional mengalami goncangan hebat yang pada akhirnya sebagian besar di antaranya  ditutup (dilikuidasi), karena mengalami negative spread, sedangkan sebagaian lainnya masuk bengkel BPPN.
Bank Muamalat dan sejumlah BPR Syari’ah yang menarapkan sistem bagi hasil selamat dari bagai krisis tersebut. Hal ini disebabkan karena bank syari’ah menerapkan sistem bagi hasil Penerapan bagi hasil di bank syari`ah, membuat bank-bank syari`ah lebih tangguh dan tahan dari pengaruh gejolak moneter, baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini disebabkan karena bank syari`ah tidak dibebani membayar bunga simpa­nan nasabah. Bank syari`ah hanya membayar bagi hasil yang jumlahnya sesuai dengan tingkat keuntungan perbankan syari`ah. Dengan sistem bagi hasil tersebut, maka jelas bank-bank syari`ah selamat dari negative spread.
Banyak kalangan menilai bahwa keterpurukan ekonomi Indonesia sejak tahun 1997, disebabkan oleh tingginya tingkat korupsi, kolusi dan nepotisme. Asumsi tersebut di satu sisi memang benar, namun harus diakui bahwa faktor sistem moneter konvensional yang memakai instrumen bunga juga menjadi salah satu faktor yang membuat semakin terpuruknya ekonomi Indonesia.
Makalah ini akan membahas pengaruh bunga perbankan tersebut terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia, yang secara khusus menganalisa kasus krisis moneter 1997  yang berlanjut sampai tahun 2004. Tulisan ini  diawali dengan paparan ringkas tentang riba dalam perspektif historis dan argumentasi  pengharaman riba. Selanjutnya dibahas pengaruh bunga terhadap keterpurukan ekonomi Indonesia.  Untuk lebih melengkapi tulisan ini, dipaparkan juga tentang ijma’ ulama tentang keharaman bunga bank yang disertai dengan eksplanasi mengenai solusi instrumen bagi bagi hasil sebagai pengganti bunga.
Makalah ini secara sengaja tidak membahas defenisi riba  dan bunga, karena defenisi keduanya sangat jelas. Sangat banyak kajian dan literatur yang telah mengulas defenisi riba dan bunga tersebut. Kata Prof.Dr.Azfalur Rahman dalam buku Muhammad A Trader,
“Tidak ada gunanya membuang-buang waktu untuk mendefenisikan bunga dan riba, karena kedua sangat identik dan saling menggantikan. Islam tidak membedakan interetres dan usury. Riba mencakup keduanya. Karena itu bunga bank sekarang ini memenuhi defenisi riba”[22]

  1. Tinjauan Riba/Bunga dari prespektif Sejarah
Menurut pakar sejarah ekonomi, kegiatan bisnis dengan sistem bunga telah ada sejak tahun 2500 sebelum Masehi, baik yunani kuno, Romawi kuno, dan Mesir Kuno. Demikian juga pada tahun 2000 sebelum Masehi, di Mesopotamia ( wilayah Iraq sekarang) telah berkembang sistem bunga. Sementara itu, 500 Tahun sebelum Masehi Temple Of Babillion mengenakan sistem bunga sebesar 20 % setahun.[23]
Sejarah mencatat, bangsa Yunani kuno yang mempunyai peradaban tinggi, melarang keras peminjaman uang dengan bunga. Aristoteles dalam karyanya Politics telah mengecam sistem bunga yang berkembang pada masa Yunani kuno. Dengan mengandalkan pemikiran rasional filosofis, tanpa bimbingan wahyu, ia menilai bahwa bunga merupkan sistem yang tidak adil. Menurutnya, uang bukan seperti ayam yang bisa bertelur. Sekeping mata uang tidak bisa beranak kepingan mata uang lainnya. Selanjutnya ia mengatakan bahwa meminjamkan uang dengan bunga adalah sesuatu yang rendah derajatnya. Sementara itu, Plato dalam bukunya “ Laws”, juga mengutuk bunga dan memandangnya sebagai praktek yang zholim. Dua filosofi Yunani yang paling terkemuka itu dipandang cukup representatif untuk mewakili pandangan filosofi Yunani tentang bunga.[24]
Selanjutnya, pada tahap- tahap awal, kerajaan Romawi Kuno, juga melarang keras setiap pungutan atas bunga dan pada perkembangan berikutnya mereka membatasi besarnya  suku bunga melalui undang – undang. Kerajaan romawi  adalah negara pertama yang menerapkan peraturan tentang bunga untuk melindungi para konsumen. Kebiasaan bunga juga brkembang di tanah arab sebelum Nabi Muhammad  menjadi rasul. Catatan sejarah menunjukan bahwa bangsa Arab cukup maju dalam perdagangan. Hal ini digambarkan dalam Al- qur’an dalam surat al – quraisy dan buku – buku sejarah dunia. Bahkan kota Mekkah saat itu pernah menjadi kota dagang internasional yang dilalui tiga jalur – jalur perdagangan dunia, Eropa dan Afrika, India, dan China, serta Syam dan Yaman.
Suatu hal yang tak bisa di – bantah, bahwa dalam rangka menunjang arus perdagangan yang begitu pesat, mereka membutuhkan fasilitas pembiayaan yang memadai guna menunjang kegiatan produksi.  Peminjaman modal untuk perdagangan dilakukan dengan sistem bunga. Tegasnya, pinjaman uang pada saat itu, bukan semata untuk konsumsi, tetapi juga untuk usaha – usaha produktif. Sistem bunga inilah selanjutnya yang dilarang Al- Qur’an secara bertahap.
Sementara itu, tradisi bunga terus berkembang di Eropa dan menjadi sistem ekonomi kapitalis. Raja Inggris, Hendri VIII, pada tahun 1545 M, mengatakan bahwa riba tidak dibenarkan, sedangkan bunga dibolehkan asal tidak berlebihan.[25] Gaung Raja Hendri VIII itu sampai ke Belanda. Ketika Belanda menjajah Indonesia,mereka menyebar luaskan pandangan Hendri VIII, sehingga ada orang Indonesia yang melarang dan mempraktekkan bunga. Mereka membedakan bunga dan riba. Padahal bunga dan riba sama saja. Ayat Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 30 yang melarang riba yang berlipat ganda, belum selesai (tuntas).[26] Sebab setelah itu, turun ayat lagi tentang riba yang mengharamkan segala bentuk riba, baik riba yang berlipat ganda maupun yang ringan bunganya (Q.S. 2 : 275 : 279).



BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
Persoalan riba telah ada sejak orang mulai berbicara tentang hubungan perdagangan dengan keuangan. Riba adalah tambahan yang dilakukan secara bathil, sangat mempengaruhi pelakunya dalam sisi ekonomi maupun social. Secara ekonomi riba dapat menimbulkan inflasi, sebagai akibat dari bunga. Hal tersebut disebabkan karaena salah sastu elemen dari penentuan harga adalah suku bunga. Semakin tinggi suku bunga, semakin tinggi pula harga yang akan ditetapkan pada suatu barang. Dampak lainnya adalah bahwa hutang, dengan rendahnya tingkat penerimaan peminjaman dan tingginya biaya bunga maka akan menimbulkan negative spread.

B.     Saran
Setelah membaca dan mengkaji makalah ini, kami berharap kepada semua teman-teman untuk menelaah dan melakukan penelitian tentang makalah ini secara komprehensif dan mendalam. Dan akhirnya kami sangat mengharapkan kritik yang membangun agar kami dapat memperbaiki penyusunan makalah kami.


DAFTAR PUSTAKA
Adiwarman A. Karim, “makro ekonomi islam”, modul kuliah ekstrakulikuler Syari’ah ekonomic farum facultas ekonomi UGM,Yogyakarta : 2001
Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001
Abd Hakim Atang, Fikiq Perbankan Syariah, PT. refrika Aditam, Bandung, 2011, hal 65
Aswath Damodaran, Corporate Finance : Theory and Practice 2nd, New York : Jhon Wiley & Sons, 2001.
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan  Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996,
Endy Muhammad Astiwara, Investasi Islami Di Pasar Modal,1999, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Ridawan Muhammad, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil, UII Press Yogyakarta, 2004
Huda n Syafi’I Antonio,  Muhammad, Bank Syari’ah, Ulama dan Cendikiawan, Jakarta,
Tazkia Institute dan Bank Indonesia, 1999, urul dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Kencana, Jakarta, 2009
Irfan Mahmud Ra’na, Economic Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf, 1977
Karnaen Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992
Watt, Montgomery W, Prophet Muhammad A State  Man , London, 1982
Umer Chapra, Prohibition Of Interest: Does It Make Sense?, 2001, IDM Publication, Durban, South Africa,
Qaradhawi Yusuf, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Dar Ash Shahwah-Dar al- Wafa’, Kairo, 1994
Qardawi Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta, 1997,
Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan  Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996
Edisi Indonesia Muhammad sebagai Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997




[1] Endy Muhammad Astiwara, Investasi Islami Di Pasar Modal,1999, Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Jakarta, hlm. 128.
[2] Umer Chapra, Prohibition Of Interest: Does It Make Sense?, 2001, IDM Publication, Durban, South Africa, hlm.2.
[3] Ibnu Manzur, 1968, hlm. 304. Saya kutip dari Umer caphra Op.Cit hlm. 3.
[4] lihat al-Qaradhawi, Fawaid al-Bunuk Hiya ar-Riba al-Haram, Dar Ash Shahwah-Dar al- Wafa’, Kairo, 1994, hlm. 129-142.
[5] Ridawan Muhammad, Manajemen Baitul Mal wa Tamwil, UII Press Yogyakarta, 2004, hal : 34
[6] Qardawi Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam, Gema Insani, Jakarta, 1997, hal : 185
[7] Ibid
[8] Huda nurul dkk, Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoritis, Kencana, Jakarta, 2009, hal 13
[9] Yang dimaksud Riba di sini ialah Riba nasi'ah. menurut sebagian besar ulama bahwa Riba nasi'ah itu selamanya haram, walaupun tidak berlipat ganda. Riba itu ada dua macam: nasiah dan fadhl. Riba nasiah ialah pembayaran lebih yang disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah.
[10] Abd Hakim Atang, Fikiq Perbankan Syariah, PT. refrika Aditam, Bandung, 2011, hal 65
[11]Aswath Damodaran, Corporate Finance : Theory and Practice 2nd, New York : Jhon Wiley & Sons, 2001.
[12] Ibid
[13] ibid
[14] Di dalam Al-Qur’an surat Al-Ashr [103] (1) Demi masa; (2) Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian; (3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan nasihat menasihatinya supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihatinya supaya menetapi kebenaran
[15] QS. Al-Qashasv(28); (77) [dan carilah pada apa yang dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan ajnganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawidan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak  menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
[16]Adiwarman A. Karim, “makro ekonomi islam”, modul kuliah ekstrakulikuler Syari’ah ekonomic farum facultas ekonomi UGM,Yogyakarta : 2001, h.4.
[17] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, terjemahan  Soeroyo dan Nastangin, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, Jilid 2, 1996, hlm. 80
[18] Irfan Mahmud Ra’na, Economic Sistem Under Umar the Great, Pakistan, M.Asraf, 1977, hlm. 80
[19] Watt, Montgomery W, Prophet Muhammad A State  Man , London, 1982, p. 57
[20] Irfan Mahmud Ra’na, op.cit, hlm. 81
[21] Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer, Jakarta, Gema Insani Press, 2001, hlm 28
[22] Afzalur Rahman, Muhammad A Trader, London, The Muslim Schools Trust, 1982, Edisi Indonesia Muhammad sebagai Pedagang, Jakarta, Swarna Bumi, 1997, hlm. 318
[23] Karnaen Perwata Atmaja dan M.Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta, Dana Bhakti Waqaf, 1992.
[24] Syafi’I Antonio,  Muhammad, Bank Syari’ah, Ulama dan Cendikiawan, Jakarta, Tazkia Institute dan Bank Indonesia, 1999, hlm. 65-66
[25] Afzzalur  Rahman, Muhammad A Trader, op.cit, hlm. 320. Syafi’I Antonio, Muhammad,  op.cit, hlm. 69-71
[26] Lihat empat tahapan turunnya ayat  tentang riba, Umer Chapra, Toward  A Justr Monetary System, terjemahan Lukman hakim, Al-Quran menuju sistem Moneter yang Adil, Yogyakarta, Dana Bkhati Waqaf,  1997, hlm.213-216

Tidak ada komentar:

Posting Komentar